Seorang lelaki tua mbah Kromo yang baru ditinggal mati isterinya, kini tinggal bersama anaknya, Paiman dan menantu perempuannya – Sumirah, serta cucunya – Susi yang baru berusia enam tahun. Keadaan lelaki tua itu sudah uzur, jari-jemarinya senantiasa gemetar dan pandangannya semakin hari semakin buram.
Malam pertama pindah ke rumah anaknya, mereka makan malam bersama.
Lelaki tua itu merasa kurang nyaman menikmati hidangan di meja makan.
Dia merasa amat canggung menggunakan sendok dan garpu.
Selama ini dia gemar bersila, tapi di rumah anaknya dia tak ada pilihan.
Cukup sukar dirasakannya, sehingga seringkali makanan tersebut tumpah.
Sebenarnya dia merasa malu seperti itu di depan anak menantu, tetapi dia gagal menahannya. Oleh karena kerap sekali dilirik menantu, selera makannyapun hilang. Dan tatkala dia memegang gelas minuman, pegangannya terlepas. Praannggg !! Bertaburanlah serpihan gelas di lantai.
Pak tua menjadi serba salah. Dia bangun, mencoba memungut serpihan gelas itu, tapi Paiman melarang nya. Sumirah cemberut, mukanya masam. Susi merasa kasihan melihat kakeknya, tapi dia hanya dapat melihat untuk kemudian meneruskan makannya.
“Besok ayah tak boleh makan bersama kita,” Susi mendengar ibunya berkata pada kakeknya, ketika kakeknya beranjak masuk ke dalam kamar. Paiman sang ayah, hanya membisu. Sempat anak kecil itu memandang tajam ke dalam mata ayahnya.
Piring dan Gelas Bambu
Demi memenuhi tuntutan Sumirah, Paiman membelikan sebuah meja kecil yang rendah, lalu diletakkan di sudut ruang makan. Di situlah ayahnya menikmati hidangannya sendirian, sedangkan anak dan menantunya makan di meja makan. Susi juga dilarang apabila dia merengek ingin makan bersama kakeknya.
Air mata lelaki tua itu meleleh mengenang nasibnya diperlakukan demikian. Ketika itu dia teringat kampung halaman yang ditinggalkan. Dia terkenang almarhum isterinya. Lalu perlahan-lahan dia berbisik: “Nek… buruk benar layanan anak kita pada Kakek.”
Demi memenuhi tuntutan Sumirah, Paiman membelikan sebuah meja kecil yang rendah, lalu diletakkan di sudut ruang makan. Di situlah ayahnya menikmati hidangannya sendirian, sedangkan anak dan menantunya makan di meja makan. Susi juga dilarang apabila dia merengek ingin makan bersama kakeknya.
Air mata lelaki tua itu meleleh mengenang nasibnya diperlakukan demikian. Ketika itu dia teringat kampung halaman yang ditinggalkan. Dia terkenang almarhum isterinya. Lalu perlahan-lahan dia berbisik: “Nek… buruk benar layanan anak kita pada Kakek.”
Sejak itu, lelaki tua itu merasa tidak betah tinggal di rumah anaknya. Setiap hari dia dihardik menantunya karena menumpahkan sisa makanan. Dia diperlakukan seperti budak. Pernah dia terpikir untuk lari dari situ, tetapi begitu dia teringat cucunya, dia pun menahan diri. Dia tidak mau melukai hati cucunya. Biarlah dia menahan diri dicaci dan dihina anak menantunya. Suatu malam, Susi terperanjat melihat kakeknya makan menggunakan piring kayu, begitu juga gelas minuman yang dibuat dari bambu.
Dia mencoba mengingat-ingat, di manakah dia pernah melihat piring seperti itu. “Oh! Ya…” bisiknya. Susi teringat, saat berkunjung ke rumah sahabat papanya, dia melihat tuan rumah itu memberi makan kucing-kucing dan anjing mereka menggunakan piring yang sama dengan yang digunakan untuk sang kakek.
“Tak akan ada lagi yang pecah, kalau tidak begitu, nanti habis piring dan mangkuk ibu,” kata Sumirah apabila anaknya bertanya. Waktu terus berlalu. Walaupun makanan berserakan setiap kali waktu makan, tiada lagi piring atau gelas yang pecah. Apabila Susi memandang kakeknya yang sedang menyuap makanan, kedua-duanya hanya berbalas senyum.
Seminggu kemudian, saat Paiman dan Sumirah sewaktu pulang bekerja, mereka terkejut melihat anak mereka sedang bermain dengan kepingan-kepingan kayu dan bambu. Susi seperti sedang membuat sesuatu. Ada palu, gergaji dan pisau di sisinya.
”Sedang membuat apa sayang? Berbahaya lho main benda-benda seperti ini,” kata Paiman menegur manja anaknya.
Dia sedikit heran bagaimana anaknya dapat mengeluarkan peralatan itu, padahal ia menyimpannya di dalam gudang.
”Mau bikin piring, mangkuk dan gelas bambu untuk Ayah dan Ibu. Supaya kalau Susi besar nanti, tidak susah mencarinya, tak usah ke pasar beli piring seperti untuk Kakek,” kata Susi.
Begitu mendengar jawaban anaknya, Paiman terkejut. Perasaan Sumirah juga terusik. Kelopak mata kedua-keduanya basah mengalir. Jawaban Susi sangat menusuk seluruh jantung, terasa seperti diiiris pisau.
Mereka tersentak dan sadar bahwa selama ini mereka telah berbuat salah karena memperlakukan orang tuanya yang sudah renta, seperti binatang.
Malam itu Paiman menuntun tangan ayahnya ke meja makan. Sumirah menyendokkan nasi dan menuangkan minuman ke dalam gelas. Nasi yang tumpah tidak dihiraukan lagi. Susi beberapa kali memandang ibunya, kemudian ayah dan terakhir wajah kakeknya. Dia tidak bertanya, cuma tersenyum saja, bahagia dapat duduk bersebelahan lagi dengan kakeknya di meja makan. Lelaki tua itu juga tidak tahu kenapa anak menantunya tiba-tiba berubah.
“Besok Susi mau buang piring kayu dan gelas bambu itu” kata Susi kepada ayahnya setelah selesai makan. Paiman dan Sumirah hanya mengangguk, tetapi dadanya masih terasa sesak karena merasa bersalah.
0 komentar :
Posting Komentar